Pendiri Pondok Pesantren Al Istighotsah
بسم
الله الرحمن الرحيم
اللهم
صل وسلم على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد
MINI BIOGRAFI KH. MAHFUDZ SYAFI’I
KELAHIRAN
Di provinsi jawa timur, terdapat sebuah kabupaten yang bernama
JOMBANG yang di kenal dengan kota santri, bahkan ada yang menyatakan bahwa kota
Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah jawa karena hampir seluruh
pendiri pon. pes. di jawa pernah berguru di Jombang.
Konon Jombang berasal dari akronim bahasa jawa IJO yang berarti
HIJAU dan ABANG yang berarti MERAH yang kemudian di satukan menjadi IJO-ABANG
atau JOMBANG.
Jombang dulu adalah wilayah kerajaan Majapahit bagian barat,
Jombang kemudian terpisah dari Mojokerto
di bawah pemerintahan Bupati Raden Adipati Ario Kromojoyo yang di tandai dengan
tampilnya pejabat pertama mulai tahun 1910 M. sampai 1930 M., yaitu Raden
Adipati Ario Suryo Adininigrat.
Pada tahun ketiga setelah inilah, yakni tepatnya pada hari Kamis,
9 Maret di tahun 1933 M. Atau 12 Dzul Qo’dah 1351 H. Lahirlah seorang bayi
laki-laki pertama dari pasangan suami istri Bapak URIP dan Ibu MUNFA’ATUN. Saat
itu nama Urip berubah menjadi Syafi’i karena kebiasaan orang dulu yang merubah
namanya setelah pulang haji.
Bayi itu lahir tepatnya di desa Genuk Watu, Kecamatan Ngoro,
Kabupaten Jombang yang di beri nama Mahfudz. Keluarganya sering memanggil nama
kecilnya dengan sebutan “PUD”. Menurut cerita, dahulu beliau bernama Muhammad
Mahfudz yang kemudian menjadi Mahfudz, lalu menjadi Mahfudz Syafi’i dengan
mengambil nama Ayahnya, yaitu Syafi’i hingga beliau wafat. Beliau adalah putra
sulung dari 6 bersaudara (4 Putra dan 2 Putri), yaitu Mahfudz, Hafidz,
Maslahatin, Shobihi, Mashun, Mashunah.
Ayah beliau wafat tahun 1985 M. ketika beliau berumur sekitar 50
tahun, sedangkan Ibu beliau wafat sekitar tahun 2002-2003 M. ketika beliau
berumur sekitar 70 tahun. Ayah beliau adalah seorang petani yang tekun
beribadah, hidupnya sangat bersahaja dan mempunyai prinsip “walaupun sebagai
petani, namun cita-citanya adalah agar semua putranya menjadi ‘ulama”. Dengan
idzin Alloh semua itu terbukti, putranya bahkan cucunya menjadi ‘ulama yang
mengasuh beberapa Pon. Pes. di berbagai daerah.
Banyak dari keluarga kandung hingga kerabat beliau yang menjadi
Pengasuh Pondok Pesantren dari berbagai daerah, dari yang dapat ditelusuri
hingga yang belum dapat ditelusuri. Jumlahnya mungkin mencapai puluhan dari
yang kecil hingga besar.
Dari sumber yang telah tergali, diketahui susunan nasab (Garis
keturunan) beliau dari arah ayah adalah KH. Mahfudz Syafi’i bin Syafi’i bin
Ahmad bin ‘Ainul Yaqin. Sedangkan dari arah ibu adalah KH. Mahfudz Syafi’i bin
Munfa’atun bin Syairozi bin ‘Abdus Syukur bin ‘Abdul Mannan At-Turmusi.
PENDIDIKAN
Masa kecil beliau adalah masa yang sedikit beliau habiskan untuk
bermain, karena beliau sudah mulai menimba ilmu ketika beliau masih anak-anak. Beliau
pernah menimba ilmu di beberapa Pondok Pesantren, seperti di Pon. Pes. Tebuireng
- Jawa Timur, Pon. Pes. Hidayatul mubtadi’in - Lirboyo, Pon. Pes. Lasem - Jawa
Tengah, Pon. Pes. Mojosari, Pon. Pes. Kaliwungu - Jawa tengah, Pon. Pes. Magelang
- Jawa Tengah, Pon. Pes. Papar - Jawa Timur, Pon. Pes. Dunglo - Jawa timur, Pon.
Pes. Sarang - Jawa Timur, dan Pondok Pesantren lainnya. Namun Pon. Pes. terlama
yang beliau pernah singgahi adalah Pon. Pes. Hidayatul Mubtadi’in, lirboyo,
kediri, Jawa Timur yang sekaligus menjadi tempat beliau menyelesaikan jenjang
pendidikan sekolahnya hingga lulus. Terhitung lamanya beliau menuntut ilmu
sekitar dari tahun 1941 M. hingga 1965 M., kurang lebih adalah 30 tahun,
sedangkan adiknya Hafidz lebih lama sekitar 5 tahun.
Pernah suatu ketika beliau mondok bersama adiknya Hafidz, beliau
kehabisan uang dan belum dapat kiriman yang mungkin kalaupun pulang tidak
berani, karena seandainya pulang dengan alasan yang tidak tepat malah
mendapatkan marah bahkan sabetan hingga kurungan karena tegasnya ayah beliau
dalam mengarahkan putranya dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan agama.
Akhirnya beliau dan adiknya hanya meminum air putih untuk mengenyangkan
perutnya. Itulah salah satu dari beberapa perjuangan beliau ketika menuntut
ilmu yang sudah beliau lalui ketika masih kecil.
Di waktu beliau masih kecil beliau sudah mempunyai cara berfikir
dan prinsip yang baik. Dalam pemikirannya,
yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Pada suatu saat
terjadi sesuatu antara beliau dengan adiknya yang kemudian terjadi
kesalahpahaman hingga beliau yang di
salahkan. Maklum, keduanya masih anak-anak sedangkan beliau adalah yang lebih
besar, maka beliau-lah yang menjadi sasaran kesalahpahaman itu. Beliau berkata,
“saya tidak suka di salahkan, padahal yang salah pada waktu itu adalah jelas
adik saya. Semestinya adalah yang salah itu adalah salah dan yang benar itu
adalah benar walaupun saya yang lebih besar dan adik saya yang masih kecil”.
Kecerdasan beliau terlihat dari daya hafalan beliau yang baik.
Beliau mampu melafadzkan tanpa melihat (Hafal) Nadzom Alfiyyah atau Syai’r 1000
baris yang berisikan pembahasan ilmu alat Nahwu dan Shorof yang telah terkenal
dikalangan santri dan mahasiswa. Di mulai dari awal hingga akhir dan sebaliknya
di mulai dari belakang hingga ke depan beliau dapat melafadzkan tanpa melihat
(Hafal) dengan waktu hanya sekitar 30 menit, bahkan adiknya Hafidz mampu dengan
waktu hanya sekitar 15 menit. Dalam suatu percobaan, melafadzkan dengan cepat
dari awal hingga akhir dengan melihat tulisannya serta di iringi suara musik
tabuhan ala pesantren itu saja membutuhkan waktu sekitar 1 1/2 jam, itupun
tidak semua orang yang sudah terbiasa bisa dan atau jelas lafadznya, karena
beberapa lafadznya sulit untuk di baca, apalagi apabila di mulai dari belakang
hingga ke depan.
Saat beranjak dewasa, beliau adalah orang yang gemar dengan mata
pelajaran ilmu alat Nahwu, Shorof, Balaghoh, Mantiq. Kemudian waktu demi waktu
beliau berganti kegemaran dengan ilmu Fiqih yang kemudian akhirnya beliau
menyenangi ilmu Tashowwuf dan Tauhid.
PERNIKAHAN
Setelah beliau menimba ilmu di berbagai Pon. Pes., maka beliau
kemudian melaksanakan sunnah Nabi dengan menikah. Terjadinya pernikahan beliau,
tidaklah seperti kebanyakan orang zaman sekarang yang sebelum menikah telah
mengenal bahkan mungkin berkenalan hingga berpacaran dan sampai melakukan
sesuatu yang dilarang agama dengan dalih agar mengenal lebih dalam supaya tidak
kecewa dan menyesal setelah menikah nanti, tetapi beliau menikah melalui proses
syari’at dengan perantara keluarganya. Beliau adalah orang yang sangat tidak
suka kepada sesuatu hal di dalam antara hubungannya orang laki-laki dengan
perempuan yang tidak pada tempatnya, seperti pacaran misalnya. Maka karena
inilah di Pon. Pes. Al-Istighotsah hal ini menjadi khas sekaligus peraturan dan
tindakan yang keras terhadap santri yang coba untuk melanggarnya hingga
sekarang.
Beliau menikah dengan Ibu Nyai Hj. Muhshonah Ch. Sekitar tahun
1960-an di usianya yang 35 tahun, sedangkan usia istrinya adalah 16 tahun.
Pernikahan beliau dengan Ibu Nyai Hj. Muhshonah Ch. di karuniai 8 orang putra
(4 putra dan 4 Putri), yaitu Machsuroh, Ma’nunah, Mardiyah, Maftuh Al-Hikam,
Hani’ Masykuri, Ali Mansur, Layyinatuddiyanah, Fatih Fu’ad.
Setelah beliau menikah dengan putri Kyai Hasbulloh yang memang
aktif di Kauman Tulung Agung, beliau kemudian masuk Thoriqoh dan di bai’at
langsung oleh Kyai mustaqim. Setelah di bai’at beliau di perintah Kyai
Hasbulloh agar bertirakat suluk (berpuasa) di Kauman selama 40 hari, tetapi
dalam waktu 10 hari saja beliau sudah di panggil oleh Kyai Mustaqim dan di
perintah untuk pulang.
Pasca pernikahan, beliau tinggal di Genuk Watu, Jombang bersama
istri dan putranya yang masih kecil. Beliau mengajar dan ikut serta bersama
masyarakat mendirikan Madrasah Ibtida’iyyah dan Tsanawiyyah di desa itu.
Beliau pada saat itu bukanlah orang yang berlimpah kemewahan,
harta berharga satu-satunya adalah kitab-kitabnya. Jumlah kitab yang beliau
miliki sangat banyak, karena itulah tak heran kalau beliau pernah kemalingan
dan kehilangan banyak kitab. Mungkin malingnya juga bingung, apa yang akan dia
ambil di dalam rumah itu, karena harta paling berharganya adalah hanya
kitab-kitab milik beliau. Semua kitab beliau apabila di ukur, mungkin sebanyak
tiga lemari besar. Sayang, kitabnya banyak yang hilang karena dicuri, di
pinjam, rusak karena berumur tua, tidak terurus dan lain sebagainya. Kitabnya
yang tersisa kini hanyalah tinggal satu lemari besar yang masih tersimpan
hingga sekarang.
Karena memang kehidupan beliau yang tidak berlimpah harta, pernah
beliau hanya memiliki satu kain sarung yang di gunakan bergantian dengan
istrinya. Bahkan, mereka tidak pernah meminum air manis yang di beri gula,
seandainya pernah pun hanya satu atau dua kali saja, yakni sangat jarang.
Beliau setiap pagi buta sekitar jam 3
selalu berangkat ke sawah dan pulang kembali siang hari.
Kehidupan beliau setelah menikah ini memang terbilang sulit dan
ekstrim bila di pandang dari sisi negatif. Beliau pernah berkata, “istri saya
adalah orang yang solihah, karena dalam kehidupan yang seperti ini pun dia
tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan dan menuntut”. Kehidupan mereka dalam
keadaan seperti ini seakan sama sekali tidak mempengaruhi perjalanan bahtera
rumah tangga mereka berdua, bahkan harmonis dan tetap berjalan seperti
biasanya.
KARAKTER
Istiqomah Lebih baik dari pada seribu karomah, mungkin itu
ungkapan yang melekat pada diri beliau. Beliau adalah orang yang tidak menyukai
terhadap karomah (bukan terhadap karomahnya, karena karomah adalah anugerah
pencipta pada hambanya sebagai suatu keistimewaan, tetapi pada efek sampingnya
karomah bagi nafsu). Karomah biasanya nampak sebagai khoriqul ‘adah (indonesia
= sesuatu yang diluar kebiasaan). Seperti manusia yang dapat terbang, berjalan
diatas air, menempuh jarak dalam hitungan detik, kebal terhadap sesuatu apapun
dan lain sebagainya. Menurut beliau, burung juga dapat terbang, ikan dapat
berjalan di air, jin dapat menempuh jarak dengan hitungan detik, besi juga
tahan terhadap apapun. Mungkin karena yang demikian inilah kewibawaan beliau
tidak nampak sebab sisi karomahnya, tetapi dari nilai jiwanya beliau.
Beliau adalah orang yang pendiam dan tertutup. Beliau tidak banyak
bicara walaupun kepada para putra dan putrinya sendiri. Posisi putra dan putrinya
sama di mata beliau sebagaimana muridnya, maka apabila putra putrinya tidak
bertanya sesuatu terlebih tentang ilmu, maka beliau pun akan diam. Tetapi tidak
akan diam apabila di dalam hal yang mengenai sebagai kewajiban beliau, maka
beliau akan bertindak dan angkat bicara. Dikala suaranya dan tindakannya di
butuhkan, beliau akan mengeluarkan seribu bahasa dan tindakan yang mengobati
bagi orang yang yang menyantapnya, sebab perkataan dan tindakannya mewakili
ilmu-ilmu yang beliau miliki. Karena tertutupnya beliau, hingga putra dan
putrinya pun saja sampai tidak mengetahui kondisi tubuhnya ketika beliau sedang
dalam keadaan kurang sehat.
Salah satu tindakan khas beliau yang sering terlihat adalah
keringanan tangannya. Apabila beliau mengetahui ada sesuatu yang sekira
mengganggu atau terbengkalai, maka beliau segera menanganinya. Seperti misalnya
ada suatu benda yang menghalangi jalan maka beliau pindahkan, atau ada suatu
benda yang terbengkalai maka beliau letakan di tempat semestinya walaupun itu
hanya sebuah karet gelang yang suatu saat mungkin akan terpakai, dan lain
sebagainya dari segala sesuatu yang tidak layak atau tidak pada tempat yang
seharusnya.
Beliau orang yang sensitif apabila mendengar anak-anak menangis,
bahkan akan marah terhadap siapa yang menyebabkannya. Pernah di tanyakan kepada
beliau alasannya, kemudian beliau menjawab, “Saya kasihan apabila ada anak-anak
yang menangis”. Selain itu juga, “suara anak-anak yang menangis mengganggu
ketika berdzikir”. Kita dapat memahami mungkin bahwa ketika berdzikir bila
kemudian ada anak-anak yang menangis maka menjadikan hilangnya fokus terhadap
dzikir yang kemudian bercampur dengan rasa kasihan karena sayang terhadap anak
itu.
Banyak sekali perkataan atau perbuatan beliau yang mengandung
hikmah, diantaranya saja adalah apabila beliau mengetahui canda atau tawa
terbahak-bahak yang berlebihan, beliau akan mengucapkan, “jangan bercanda
terus, nanti keras hatinya!”. Mungkin memang kalimat inilah yang mewakili
sebuah ungkapan didalam Al-Qur’an yang kurang lebih menyebutkan, “maka
hendaklah tertawa kalian dengan sedikit dan hendaklah menangis kalian dengan
banyak” di dunia ini, karena dunia ini bukan tempat untuk bersenang-senang yang
akan membuat menyesal kemudian. Selain itu, karena memang orang yang berlebihan
dalam bercanda serta tertawa akan membuat seseorang itu sulit untuk di masuki
arahan nasihat sebagai gambaran bahwa hatinya menjadi keras. Beliau juga
seringkali mengucapkan kepada putra atau putrinya yang mengeluarkan suara keras
berteriak berlebihan dengan ucapan, “Hei, kupingnya sendiri ya!?”, atau “Hei
mulutnya sendiri ya!?” dan sejenisnya yang menyisipkan kata “miliknya sendiri”.
Dalam kalimat ini selain untuk menghentikan perbuatan juga terselip hubungan
dari sebuah keterangan yang menyatakan bahwa setiap segala sesuatu adalah milik
Pencipta, apa yang ada pada kita hanyalah amanat yang harus di gunakan dengan
bijak.
Ada hal mengagumkan dari beliau yang juga terlihat, seperti
membawa tentengannya sendiri walaupun mungkin yang dibawa itu terlihat tidak
pantas bagi kita yang melihatnya dan bisa orang lain yang membantu untuk
membawakannya. Atau juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti
menyuci, menyapu, memasak, menghangatkan lauk dan lain sebagainya yang mungkin
terlihat riskan bagi yang melihatnya untuk orang sekelas beliau.
Beliau adalah orang yang istiqomah, setiap malam beliau selalu
tidur di sekitar jam 10 malam dan bangun di waktu subuh. Terkadang beliau
terlihat bangun di waktu dini hari dan
menyendiri di ruangan yang gelap mengerjakan sholat dan wiridan. Selain
istiqomah, beliau juga orang sangat menghargai waktu.
Tinggi tubuh beliau tidak lebih dari 160 CM., tetapi apabila
dilihat dari kejauhan beliau terlihat gagah, besar dan tinggi. Warna kulit
beliau termasuk relatif cerah ditimbang dari sisi profesinya yang dahulu adalah
seorang petani. Kulit beliau kesat, mulus dan halus di bagian badannya. Tidak
terlihat tanda keriput di kulitnya sama sekali, padahal usianya akan memasuki
umur 70 tahun. Tubuh beliau memang tidak sewangi bunga, tetapi aroma tubuhnya
tidak seperti bau tubuh orang pada umumnya ketika saat berbau tidak sedap,
padahal beliau adalah orang yang tidak menggunakan doedoran, minyak wangi atau
mengkonsumsi ramuan berkhasiat yang dapat
menghilangkan bau badan dan sesuatu yang lain sebagainya.
VISI MISI
Puncak manusia diciptakan adalah untuk mengetahui dengan yang
menciptakannya, begitulah kurang lebih isi kandungan dari hikmah setiap
perkataan dan tindakan yang selalu beliau perlihatkan. Sering kali beliau
memberitahu, mengajak, mengajarkan dengan mengatakan, menganjurkan,
mengingatkan, menegur dan lain sebagainya dengan berulang-ulang kepada
berdzikir. Beliau mengatakan, hanya dzikirlah yang menjadi alat sekaligus
proses tercepat untuk sampai (mengetahui) kepada yang sejati (Alloh). Karena
hal inilah, beliau selalu menghubungkan dan mengembalikan segala sesuatu kepada
Alloh yang mana terlebih nampak ada pada tiap ucapannya, sampai-sampai beliau
dikatakan sebagai orang yang “ngajinya Alloh melulu”.
Ilmu yang membahas hal seperti ini sudah barang tentu di dasari
oleh pondasi Syari’at Agama yang kemudian memasuki dalam wilayah teritorial
Tashowwuf yang berlandaskan Thoriqoh yang akhirnya membuahkan Hakikatnya Tauhid
sebagaimana beliau mengatakan, Ilmu itu ada tiga; Syari’at (Fiqih, Ushul Fiqih,
Qo’idah Fiqih dsb.), Thoriqoh (Tashowwuf, Akhlak dsb.) dan Hakikat (Tauhid).
MOMEN DA’WAH
Beliau adalah seorang pejuang da’wah, beliau pernah berjuang
da’wah ke Tuban, Lampung dan Tambun - Bekasi lalu akhirnya ke Kampung Gardu
sawah - Bekasi. Beliau hijrah ke Kp. Gardu Sawah, Ds. Kali Jaya, Kec. Cikarang
Barat, Kab. Bekasi, pada hari Rabu pagi, Bulan Maret 1994 M. atau Bulan
Dzul-Hijjah 1414 H. bersama istri dan semua putra putrinya, beliau telah
mendirikan sebuah lembaga pendidikan Pondok Pesantren Salaf pada tahun 1992 M.
yang bernama AL-ISTIGHOTSAH yang di gagas oleh beliau walaupun hanya baru di
atas proposal yang rencananya sekaligus agar dapat menjadi wadah seluruh
jama’ahnya yang berhaluan Ahlus-Sunnah
Wal-Jama’ah.
Tentang lambang pada logo Al-Istighotsah, Beliau pernah mengatakan
bahwa Bintang adalah gambaran dari Waliyulloh (kekasih Alloh), jumlah 9 adalah
delegasi ekspedisi keagamaan di Indonesia pada zaman dahulu yang berjumlah 9
orang (Wali Songgo). Ka’bah adalah gambaran dari hati manusia, dikanan dan kiri
Ka’bah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Dibawah ka’bah, Al-Qur’an dan Hadits adalah
perahu kapal yang menggambarkan Thoriqoh, dibawah perahu kapal adalah air yang
menggambarkan ‘Ilmu. Semua lambang dikelilingi oleh garis tepi yang berbentuk
melati.
Sepeninggalan beliau, Pon. Pes. Al-Istighotsah Gardu Sawah yang
menjadi tempat pertama berdirinya lembaga pendidikan aktif yang beliau bangun sendiri, kini kegiatan
aktifnya telah berpindah di daerah selatan Bekasi, lebih tepatnya di Kp.
Cinyosog, Ds. Burangkeng, Kec. Setu, Kab. Bekasi. Sampai saat ini ada tiga
tempat peninggalan jariyah perjuangan beliau dengan nama lembaga yang sama dan
pengelola yang telah beliau tunjuk sendiri dari putra putrinya akan tetapi
berbeda daerah, yaitu Pon. Pes. AL-ISTIGHOTSAH Sukatani, Pon. Pes.
AL-ISTIGHOTSAH Bulak Kapal, Pon. Pes. AL-ISTIGHOTSAH Setu.
KEPULANGAN
Putra dan Putrinya tidak mengetahui dengan pasti situasi kondisi
fisik beliau yang pada saat itu terasa janggal hingga lama kelamaan menjadi
sakit karena beliau tidak menampakannya. Pernah putra dan putri beliau sesekali
dan terhitung jari di minta untuk memijatnya, itu pun karena di perintah oleh
ibunya, sedangkan beliau tidak pernah memintanya sendiri.
Segala usaha telah
dilakukan mulai dari pengobatan tradisional memijat, alternatif
akupuntur hingga medis kedokteran dan lain-lainnya. Namun apa daya, sakit itu
pun tetap dan kian menjadi hingga membuat beliau harus istirahat dan dalam
keadaan posisi terbaring untuk mengurangi rasa sakitnya. Waktu demi waktu
dengan sakit beliau yang terus bertambah hingga mengurangi daya beliau yang
dari hari ke hari memang sudah semakin berkurang.
Setelah segala hal telah dilakukan, akhirnya sakit itu memaksa
tubuh beliau untuk kehilangan dayanya pada saat menjelang siang hari di hari
Selasa yang penuh harap cemas. Di sisinya telah ada putra, putri serta
menantunya yang menemaninya saat itu. Pernah beberapa kali beliau meminta untuk
di tinggalkan sendiri di hari sebelumnya agar tidak di temani, mungkin beliau
telah merasa cukup bersama sang Pencipta seutuhnya sebagai pendamping beliau
yang menemaninya, namun putra atau putrinya tetap memaksa untuk bisa melayani
karena sebagai kewajibannya. Menjelang perginya beliau dari raganya, beliau
sempat mengucapkan kalimat Thoyyibah dengan suara samar seperti orang yang
berbisik yang kemudian di iringi kembalinya beliau kepada Dzat yang maha hidup
tepatnya sekitar jam 13:07 WIB di hari Selasa, 09 September 2003 M. atau 12 Rojab 1424 H. di salah satu
kamar kediamannya di Gardu Sawah yang tepat seminggu sebelumnya juga telah
mendahului wafat istri beliau di sekitar jam 14:07 WIB di hari Selasa, 02
September 2003 M. atau 05 Rojab 1424 H. yang juga di salah satu kamar yang
bersebelahan di kediamannya di Gardu Sawah.
Usia beliau ketika wafat berumur 70 tahun, sedangkan istri beliau
berumur 55 tahun. Keduanya di makamkan di Bulak Kapal, Bekasi Timur sesuai
dengan permintaan beliau.
PENUTUP & KLARIFIKASI
Isi dari Mini Biografi ini diambil dari berbagai sumber yang telah
diolah dan dirangkum dalam bentuk tulisan yang suatu saat mungkin akan di
revisi ulang. Setiap orang mungkin akan mempunyai persepsi masing-masing dari
KH. MAHFUDZ SYAFI’I akan gambaran tentang siapa, seperti, bagaimana dan
sebagainya beliau ini. Mini Biografi ini tidak mewakili secara pasti situasi,
kondisi dan lain-lainnya pada saat itu di dalam kenyataannya, karena bisa jadi
mungkin yang sebenarnya jauh lebih dramatis atau sebaliknya, atau mungkin
terdapat kekurangan dan kelebihan di dalamnya. Mini Biografi ini disusun oleh
Fatih Fuad MS, diambil dari berbagai sumber kesaksian, lisan serta tulisan dan
diperiksa oleh Keluarga. Revisi akhir pada Tahun 2019 M. Mohon ma’af dan Terima
kasih.