Pendiri Pondok Pesantren Al Istighotsah

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد
MINI BIOGRAFI KH. MAHFUDZ SYAFI’I
KELAHIRAN
Di provinsi jawa timur, terdapat sebuah kabupaten yang bernama JOMBANG yang di kenal dengan kota santri, bahkan ada yang menyatakan bahwa kota Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah jawa karena hampir seluruh pendiri pon. pes. di jawa pernah berguru di Jombang.
Konon Jombang berasal dari akronim bahasa jawa IJO yang berarti HIJAU dan ABANG yang berarti MERAH yang kemudian di satukan menjadi IJO-ABANG atau JOMBANG.
Jombang dulu adalah wilayah kerajaan Majapahit bagian barat, Jombang kemudian terpisah dari  Mojokerto di bawah pemerintahan Bupati Raden Adipati Ario Kromojoyo yang di tandai dengan tampilnya pejabat pertama mulai tahun 1910 M. sampai 1930 M., yaitu Raden Adipati Ario Suryo Adininigrat.
Pada tahun ketiga setelah inilah, yakni tepatnya pada hari Kamis, 9 Maret di tahun 1933 M. Atau 12 Dzul Qo’dah 1351 H. Lahirlah seorang bayi laki-laki pertama dari pasangan suami istri Bapak URIP dan Ibu MUNFA’ATUN. Saat itu nama Urip berubah menjadi Syafi’i karena kebiasaan orang dulu yang merubah namanya setelah pulang haji.
Bayi itu lahir tepatnya di desa Genuk Watu, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang yang di beri nama Mahfudz. Keluarganya sering memanggil nama kecilnya dengan sebutan “PUD”. Menurut cerita, dahulu beliau bernama Muhammad Mahfudz yang kemudian menjadi Mahfudz, lalu menjadi Mahfudz Syafi’i dengan mengambil nama Ayahnya, yaitu Syafi’i hingga beliau wafat. Beliau adalah putra sulung dari 6 bersaudara (4 Putra dan 2 Putri), yaitu Mahfudz, Hafidz, Maslahatin, Shobihi, Mashun, Mashunah.
Ayah beliau wafat tahun 1985 M. ketika beliau berumur sekitar 50 tahun, sedangkan Ibu beliau wafat sekitar tahun 2002-2003 M. ketika beliau berumur sekitar 70 tahun. Ayah beliau adalah seorang petani yang tekun beribadah, hidupnya sangat bersahaja dan mempunyai prinsip “walaupun sebagai petani, namun cita-citanya adalah agar semua putranya menjadi ‘ulama”. Dengan idzin Alloh semua itu terbukti, putranya bahkan cucunya menjadi ‘ulama yang mengasuh beberapa Pon. Pes. di berbagai daerah. 
Banyak dari keluarga kandung hingga kerabat beliau yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren dari berbagai daerah, dari yang dapat ditelusuri hingga yang belum dapat ditelusuri. Jumlahnya mungkin mencapai puluhan dari yang kecil hingga besar.
Dari sumber yang telah tergali, diketahui susunan nasab (Garis keturunan) beliau dari arah ayah adalah KH. Mahfudz Syafi’i bin Syafi’i bin Ahmad bin ‘Ainul Yaqin. Sedangkan dari arah ibu adalah KH. Mahfudz Syafi’i bin Munfa’atun bin Syairozi bin ‘Abdus Syukur bin ‘Abdul Mannan At-Turmusi.
PENDIDIKAN
Masa kecil beliau adalah masa yang sedikit beliau habiskan untuk bermain, karena beliau sudah mulai menimba ilmu ketika beliau masih anak-anak. Beliau pernah menimba ilmu di beberapa Pondok Pesantren, seperti di Pon. Pes. Tebuireng - Jawa Timur, Pon. Pes. Hidayatul mubtadi’in - Lirboyo, Pon. Pes. Lasem - Jawa Tengah, Pon. Pes. Mojosari, Pon. Pes. Kaliwungu - Jawa tengah, Pon. Pes. Magelang - Jawa Tengah, Pon. Pes. Papar - Jawa Timur, Pon. Pes. Dunglo - Jawa timur, Pon. Pes. Sarang - Jawa Timur, dan Pondok Pesantren lainnya. Namun Pon. Pes. terlama yang beliau pernah singgahi adalah Pon. Pes. Hidayatul Mubtadi’in, lirboyo, kediri, Jawa Timur yang sekaligus menjadi tempat beliau menyelesaikan jenjang pendidikan sekolahnya hingga lulus. Terhitung lamanya beliau menuntut ilmu sekitar dari tahun 1941 M. hingga 1965 M., kurang lebih adalah 30 tahun, sedangkan adiknya Hafidz lebih lama sekitar 5 tahun.
Pernah suatu ketika beliau mondok bersama adiknya Hafidz, beliau kehabisan uang dan belum dapat kiriman yang mungkin kalaupun pulang tidak berani, karena seandainya pulang dengan alasan yang tidak tepat malah mendapatkan marah bahkan sabetan hingga kurungan karena tegasnya ayah beliau dalam mengarahkan putranya dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan agama. Akhirnya beliau dan adiknya hanya meminum air putih untuk mengenyangkan perutnya. Itulah salah satu dari beberapa perjuangan beliau ketika menuntut ilmu yang sudah beliau lalui ketika masih kecil.
Di waktu beliau masih kecil beliau sudah mempunyai cara berfikir dan prinsip yang baik. Dalam pemikirannya,  yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Pada suatu saat terjadi sesuatu antara beliau dengan adiknya yang kemudian terjadi kesalahpahaman hingga beliau yang  di salahkan. Maklum, keduanya masih anak-anak sedangkan beliau adalah yang lebih besar, maka beliau-lah yang menjadi sasaran kesalahpahaman itu. Beliau berkata, “saya tidak suka di salahkan, padahal yang salah pada waktu itu adalah jelas adik saya. Semestinya adalah yang salah itu adalah salah dan yang benar itu adalah benar walaupun saya yang lebih besar dan adik saya yang masih kecil”.
Kecerdasan beliau terlihat dari daya hafalan beliau yang baik. Beliau mampu melafadzkan tanpa melihat (Hafal) Nadzom Alfiyyah atau Syai’r 1000 baris yang berisikan pembahasan ilmu alat Nahwu dan Shorof yang telah terkenal dikalangan santri dan mahasiswa. Di mulai dari awal hingga akhir dan sebaliknya di mulai dari belakang hingga ke depan beliau dapat melafadzkan tanpa melihat (Hafal) dengan waktu hanya sekitar 30 menit, bahkan adiknya Hafidz mampu dengan waktu hanya sekitar 15 menit. Dalam suatu percobaan, melafadzkan dengan cepat dari awal hingga akhir dengan melihat tulisannya serta di iringi suara musik tabuhan ala pesantren itu saja membutuhkan waktu sekitar 1 1/2 jam, itupun tidak semua orang yang sudah terbiasa bisa dan atau jelas lafadznya, karena beberapa lafadznya sulit untuk di baca, apalagi apabila di mulai dari belakang hingga ke depan. 
Saat beranjak dewasa, beliau adalah orang yang gemar dengan mata pelajaran ilmu alat Nahwu, Shorof, Balaghoh, Mantiq. Kemudian waktu demi waktu beliau berganti kegemaran dengan ilmu Fiqih yang kemudian akhirnya beliau menyenangi ilmu Tashowwuf dan Tauhid.
PERNIKAHAN
Setelah beliau menimba ilmu di berbagai Pon. Pes., maka beliau kemudian melaksanakan sunnah Nabi dengan menikah. Terjadinya pernikahan beliau, tidaklah seperti kebanyakan orang zaman sekarang yang sebelum menikah telah mengenal bahkan mungkin berkenalan hingga berpacaran dan sampai melakukan sesuatu yang dilarang agama dengan dalih agar mengenal lebih dalam supaya tidak kecewa dan menyesal setelah menikah nanti, tetapi beliau menikah melalui proses syari’at dengan perantara keluarganya. Beliau adalah orang yang sangat tidak suka kepada sesuatu hal di dalam antara hubungannya orang laki-laki dengan perempuan yang tidak pada tempatnya, seperti pacaran misalnya. Maka karena inilah di Pon. Pes. Al-Istighotsah hal ini menjadi khas sekaligus peraturan dan tindakan yang keras terhadap santri yang coba untuk melanggarnya hingga sekarang.
Beliau menikah dengan Ibu Nyai Hj. Muhshonah Ch. Sekitar tahun 1960-an di usianya yang 35 tahun, sedangkan usia istrinya adalah 16 tahun. Pernikahan beliau dengan Ibu Nyai Hj. Muhshonah Ch. di karuniai 8 orang putra (4 putra dan 4 Putri), yaitu Machsuroh, Ma’nunah, Mardiyah, Maftuh Al-Hikam, Hani’ Masykuri, Ali Mansur, Layyinatuddiyanah, Fatih Fu’ad.
Setelah beliau menikah dengan putri Kyai Hasbulloh yang memang aktif di Kauman Tulung Agung, beliau kemudian masuk Thoriqoh dan di bai’at langsung oleh Kyai mustaqim. Setelah di bai’at beliau di perintah Kyai Hasbulloh agar bertirakat suluk (berpuasa) di Kauman selama 40 hari, tetapi dalam waktu 10 hari saja beliau sudah di panggil oleh Kyai Mustaqim dan di perintah untuk pulang.
Pasca pernikahan, beliau tinggal di Genuk Watu, Jombang bersama istri dan putranya yang masih kecil. Beliau mengajar dan ikut serta bersama masyarakat mendirikan Madrasah Ibtida’iyyah dan Tsanawiyyah di desa itu.
Beliau pada saat itu bukanlah orang yang berlimpah kemewahan, harta berharga satu-satunya adalah kitab-kitabnya. Jumlah kitab yang beliau miliki sangat banyak, karena itulah tak heran kalau beliau pernah kemalingan dan kehilangan banyak kitab. Mungkin malingnya juga bingung, apa yang akan dia ambil di dalam rumah itu, karena harta paling berharganya adalah hanya kitab-kitab milik beliau. Semua kitab beliau apabila di ukur, mungkin sebanyak tiga lemari besar. Sayang, kitabnya banyak yang hilang karena dicuri, di pinjam, rusak karena berumur tua, tidak terurus dan lain sebagainya. Kitabnya yang tersisa kini hanyalah tinggal satu lemari besar yang masih tersimpan hingga sekarang.
Karena memang kehidupan beliau yang tidak berlimpah harta, pernah beliau hanya memiliki satu kain sarung yang di gunakan bergantian dengan istrinya. Bahkan, mereka tidak pernah meminum air manis yang di beri gula, seandainya pernah pun hanya satu atau dua kali saja, yakni sangat jarang. Beliau setiap pagi buta sekitar jam 3  selalu berangkat ke sawah dan pulang kembali siang hari.
Kehidupan beliau setelah menikah ini memang terbilang sulit dan ekstrim bila di pandang dari sisi negatif. Beliau pernah berkata, “istri saya adalah orang yang solihah, karena dalam kehidupan yang seperti ini pun dia tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan dan menuntut”. Kehidupan mereka dalam keadaan seperti ini seakan sama sekali tidak mempengaruhi perjalanan bahtera rumah tangga mereka berdua, bahkan harmonis dan tetap berjalan seperti biasanya.
KARAKTER
Istiqomah Lebih baik dari pada seribu karomah, mungkin itu ungkapan yang melekat pada diri beliau. Beliau adalah orang yang tidak menyukai terhadap karomah (bukan terhadap karomahnya, karena karomah adalah anugerah pencipta pada hambanya sebagai suatu keistimewaan, tetapi pada efek sampingnya karomah bagi nafsu). Karomah biasanya nampak sebagai khoriqul ‘adah (indonesia = sesuatu yang diluar kebiasaan). Seperti manusia yang dapat terbang, berjalan diatas air, menempuh jarak dalam hitungan detik, kebal terhadap sesuatu apapun dan lain sebagainya. Menurut beliau, burung juga dapat terbang, ikan dapat berjalan di air, jin dapat menempuh jarak dengan hitungan detik, besi juga tahan terhadap apapun. Mungkin karena yang demikian inilah kewibawaan beliau tidak nampak sebab sisi karomahnya, tetapi dari nilai jiwanya beliau.
Beliau adalah orang yang pendiam dan tertutup. Beliau tidak banyak bicara walaupun kepada para putra dan putrinya sendiri. Posisi putra dan putrinya sama di mata beliau sebagaimana muridnya, maka apabila putra putrinya tidak bertanya sesuatu terlebih tentang ilmu, maka beliau pun akan diam. Tetapi tidak akan diam apabila di dalam hal yang mengenai sebagai kewajiban beliau, maka beliau akan bertindak dan angkat bicara. Dikala suaranya dan tindakannya di butuhkan, beliau akan mengeluarkan seribu bahasa dan tindakan yang mengobati bagi orang yang yang menyantapnya, sebab perkataan dan tindakannya mewakili ilmu-ilmu yang beliau miliki. Karena tertutupnya beliau, hingga putra dan putrinya pun saja sampai tidak mengetahui kondisi tubuhnya ketika beliau sedang dalam keadaan kurang sehat. 
Salah satu tindakan khas beliau yang sering terlihat adalah keringanan tangannya. Apabila beliau mengetahui ada sesuatu yang sekira mengganggu atau terbengkalai, maka beliau segera menanganinya. Seperti misalnya ada suatu benda yang menghalangi jalan maka beliau pindahkan, atau ada suatu benda yang terbengkalai maka beliau letakan di tempat semestinya walaupun itu hanya sebuah karet gelang yang suatu saat mungkin akan terpakai, dan lain sebagainya dari segala sesuatu yang tidak layak atau tidak pada tempat yang seharusnya.
Beliau orang yang sensitif apabila mendengar anak-anak menangis, bahkan akan marah terhadap siapa yang menyebabkannya. Pernah di tanyakan kepada beliau alasannya, kemudian beliau menjawab, “Saya kasihan apabila ada anak-anak yang menangis”. Selain itu juga, “suara anak-anak yang menangis mengganggu ketika berdzikir”. Kita dapat memahami mungkin bahwa ketika berdzikir bila kemudian ada anak-anak yang menangis maka menjadikan hilangnya fokus terhadap dzikir yang kemudian bercampur dengan rasa kasihan karena sayang terhadap anak itu.
Banyak sekali perkataan atau perbuatan beliau yang mengandung hikmah, diantaranya saja adalah apabila beliau mengetahui canda atau tawa terbahak-bahak yang berlebihan, beliau akan mengucapkan, “jangan bercanda terus, nanti keras hatinya!”. Mungkin memang kalimat inilah yang mewakili sebuah ungkapan didalam Al-Qur’an yang kurang lebih menyebutkan, “maka hendaklah tertawa kalian dengan sedikit dan hendaklah menangis kalian dengan banyak” di dunia ini, karena dunia ini bukan tempat untuk bersenang-senang yang akan membuat menyesal kemudian. Selain itu, karena memang orang yang berlebihan dalam bercanda serta tertawa akan membuat seseorang itu sulit untuk di masuki arahan nasihat sebagai gambaran bahwa hatinya menjadi keras. Beliau juga seringkali mengucapkan kepada putra atau putrinya yang mengeluarkan suara keras berteriak berlebihan dengan ucapan, “Hei, kupingnya sendiri ya!?”, atau “Hei mulutnya sendiri ya!?” dan sejenisnya yang menyisipkan kata “miliknya sendiri”. Dalam kalimat ini selain untuk menghentikan perbuatan juga terselip hubungan dari sebuah keterangan yang menyatakan bahwa setiap segala sesuatu adalah milik Pencipta, apa yang ada pada kita hanyalah amanat yang harus di gunakan dengan bijak.
Ada hal mengagumkan dari beliau yang juga terlihat, seperti membawa tentengannya sendiri walaupun mungkin yang dibawa itu terlihat tidak pantas bagi kita yang melihatnya dan bisa orang lain yang membantu untuk membawakannya. Atau juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti menyuci, menyapu, memasak, menghangatkan lauk dan lain sebagainya yang mungkin terlihat riskan bagi yang melihatnya untuk orang sekelas beliau.
Beliau adalah orang yang istiqomah, setiap malam beliau selalu tidur di sekitar jam 10 malam dan bangun di waktu subuh. Terkadang beliau terlihat  bangun di waktu dini hari dan menyendiri di ruangan yang gelap mengerjakan sholat dan wiridan. Selain istiqomah, beliau juga orang sangat menghargai waktu.
Tinggi tubuh beliau tidak lebih dari 160 CM., tetapi apabila dilihat dari kejauhan beliau terlihat gagah, besar dan tinggi. Warna kulit beliau termasuk relatif cerah ditimbang dari sisi profesinya yang dahulu adalah seorang petani. Kulit beliau kesat, mulus dan halus di bagian badannya. Tidak terlihat tanda keriput di kulitnya sama sekali, padahal usianya akan memasuki umur 70 tahun. Tubuh beliau memang tidak sewangi bunga, tetapi aroma tubuhnya tidak seperti bau tubuh orang pada umumnya ketika saat berbau tidak sedap, padahal beliau adalah orang yang tidak menggunakan doedoran, minyak wangi atau mengkonsumsi ramuan berkhasiat yang dapat  menghilangkan bau badan dan sesuatu yang lain sebagainya.
VISI MISI
Puncak manusia diciptakan adalah untuk mengetahui dengan yang menciptakannya, begitulah kurang lebih isi kandungan dari hikmah setiap perkataan dan tindakan yang selalu beliau perlihatkan. Sering kali beliau memberitahu, mengajak, mengajarkan dengan mengatakan, menganjurkan, mengingatkan, menegur dan lain sebagainya dengan berulang-ulang kepada berdzikir. Beliau mengatakan, hanya dzikirlah yang menjadi alat sekaligus proses tercepat untuk sampai (mengetahui) kepada yang sejati (Alloh). Karena hal inilah, beliau selalu menghubungkan dan mengembalikan segala sesuatu kepada Alloh yang mana terlebih nampak ada pada tiap ucapannya, sampai-sampai beliau dikatakan sebagai orang yang “ngajinya Alloh melulu”.  
Ilmu yang membahas hal seperti ini sudah barang tentu di dasari oleh pondasi Syari’at Agama yang kemudian memasuki dalam wilayah teritorial Tashowwuf yang berlandaskan Thoriqoh yang akhirnya membuahkan Hakikatnya Tauhid sebagaimana beliau mengatakan, Ilmu itu ada tiga; Syari’at (Fiqih, Ushul Fiqih, Qo’idah Fiqih dsb.), Thoriqoh (Tashowwuf, Akhlak dsb.) dan Hakikat (Tauhid).
MOMEN DA’WAH
Beliau adalah seorang pejuang da’wah, beliau pernah berjuang da’wah ke Tuban, Lampung dan Tambun - Bekasi lalu akhirnya ke Kampung Gardu sawah - Bekasi. Beliau hijrah ke Kp. Gardu Sawah, Ds. Kali Jaya, Kec. Cikarang Barat, Kab. Bekasi, pada hari Rabu pagi, Bulan Maret 1994 M. atau Bulan Dzul-Hijjah 1414 H. bersama istri dan semua putra putrinya, beliau telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan Pondok Pesantren Salaf pada tahun 1992 M. yang bernama AL-ISTIGHOTSAH yang di gagas oleh beliau walaupun hanya baru di atas proposal yang rencananya sekaligus agar dapat menjadi wadah seluruh jama’ahnya yang  berhaluan Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah.
Tentang lambang pada logo Al-Istighotsah, Beliau pernah mengatakan bahwa Bintang adalah gambaran dari Waliyulloh (kekasih Alloh), jumlah 9 adalah delegasi ekspedisi keagamaan di Indonesia pada zaman dahulu yang berjumlah 9 orang (Wali Songgo). Ka’bah adalah gambaran dari hati manusia, dikanan dan kiri Ka’bah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Dibawah ka’bah, Al-Qur’an dan Hadits adalah perahu kapal yang menggambarkan Thoriqoh, dibawah perahu kapal adalah air yang menggambarkan ‘Ilmu. Semua lambang dikelilingi oleh garis tepi yang berbentuk melati.
Sepeninggalan beliau, Pon. Pes. Al-Istighotsah Gardu Sawah yang menjadi tempat pertama berdirinya lembaga pendidikan aktif  yang beliau bangun sendiri, kini kegiatan aktifnya telah berpindah di daerah selatan Bekasi, lebih tepatnya di Kp. Cinyosog, Ds. Burangkeng, Kec. Setu, Kab. Bekasi. Sampai saat ini ada tiga tempat peninggalan jariyah perjuangan beliau dengan nama lembaga yang sama dan pengelola yang telah beliau tunjuk sendiri dari putra putrinya akan tetapi berbeda daerah, yaitu Pon. Pes. AL-ISTIGHOTSAH Sukatani, Pon. Pes. AL-ISTIGHOTSAH Bulak Kapal, Pon. Pes. AL-ISTIGHOTSAH Setu.
KEPULANGAN
Putra dan Putrinya tidak mengetahui dengan pasti situasi kondisi fisik beliau yang pada saat itu terasa janggal hingga lama kelamaan menjadi sakit karena beliau tidak menampakannya. Pernah putra dan putri beliau sesekali dan terhitung jari di minta untuk memijatnya, itu pun karena di perintah oleh ibunya, sedangkan beliau tidak pernah memintanya sendiri. 
Segala usaha telah  dilakukan mulai dari pengobatan tradisional memijat, alternatif akupuntur hingga medis kedokteran dan lain-lainnya. Namun apa daya, sakit itu pun tetap dan kian menjadi hingga membuat beliau harus istirahat dan dalam keadaan posisi terbaring untuk mengurangi rasa sakitnya. Waktu demi waktu dengan sakit beliau yang terus bertambah hingga mengurangi daya beliau yang dari hari ke hari memang sudah semakin berkurang.
Setelah segala hal telah dilakukan, akhirnya sakit itu memaksa tubuh beliau untuk kehilangan dayanya pada saat menjelang siang hari di hari Selasa yang penuh harap cemas. Di sisinya telah ada putra, putri serta menantunya yang menemaninya saat itu. Pernah beberapa kali beliau meminta untuk di tinggalkan sendiri di hari sebelumnya agar tidak di temani, mungkin beliau telah merasa cukup bersama sang Pencipta seutuhnya sebagai pendamping beliau yang menemaninya, namun putra atau putrinya tetap memaksa untuk bisa melayani karena sebagai kewajibannya. Menjelang perginya beliau dari raganya, beliau sempat mengucapkan kalimat Thoyyibah dengan suara samar seperti orang yang berbisik yang kemudian di iringi kembalinya beliau kepada Dzat yang maha hidup tepatnya sekitar jam 13:07 WIB di hari Selasa, 09 September  2003 M. atau 12 Rojab 1424 H. di salah satu kamar kediamannya di Gardu Sawah yang tepat seminggu sebelumnya juga telah mendahului wafat istri beliau di sekitar jam 14:07 WIB di hari Selasa, 02 September 2003 M. atau 05 Rojab 1424 H. yang juga di salah satu kamar yang bersebelahan di kediamannya di Gardu Sawah.
Usia beliau ketika wafat berumur 70 tahun, sedangkan istri beliau berumur 55 tahun. Keduanya di makamkan di Bulak Kapal, Bekasi Timur sesuai dengan permintaan beliau. 
PENUTUP & KLARIFIKASI
Isi dari Mini Biografi ini diambil dari berbagai sumber yang telah diolah dan dirangkum dalam bentuk tulisan yang suatu saat mungkin akan di revisi ulang. Setiap orang mungkin akan mempunyai persepsi masing-masing dari KH. MAHFUDZ SYAFI’I akan gambaran tentang siapa, seperti, bagaimana dan sebagainya beliau ini. Mini Biografi ini tidak mewakili secara pasti situasi, kondisi dan lain-lainnya pada saat itu di dalam kenyataannya, karena bisa jadi mungkin yang sebenarnya jauh lebih dramatis atau sebaliknya, atau mungkin terdapat kekurangan dan kelebihan di dalamnya. Mini Biografi ini disusun oleh Fatih Fuad MS, diambil dari berbagai sumber kesaksian, lisan serta tulisan dan diperiksa oleh Keluarga. Revisi akhir pada Tahun 2019 M. Mohon ma’af dan Terima kasih.